Selasa, 06 Juli 2010

Teratai / Lotus






~Teratai~

Bunga teratai sangat indah, kelopaknya berwarna merah muda dan bersih. Coba tengoklah tempat di mana teratai itu tumbuh, sebuah kolam yang biasanya dipenuhi oleh lumpur, tempat yang mungkin begitu kotor dan jelek, namun teratai tetap tumbuh dengan cantiknya. Yang seringkali terjadi justru kita tidak lagi melihat ‘kejelekan’ dari kolam itu, karena tertutup oleh keindahan bunga teratai.

Cobalah lihat di sekitar kita, apakah kita tinggal di lingkungan yang cukup baik? Ataukah kita tinggal di lingkungan yang buruk? Tentunya baik dan buruk ini pun menurut kita bukan? Karena apa yang kita sebut baik dan buruk ini sesungguhnya sangatlah relatif dan sebatas persepsi kita saja. Tetapi yang perlu kita sadari, sekalipun tinggal di lingkungan yang buruk, menjadi baik atau buruknya diri kita itu tetaplah pilihan kita sendiri.

Jadikanlah diri kita seperti bunga teratai, sekalipun tumbuh di tempat yang jelek dan berlumpur, tapi itu tidak membuat dirinya menjadi jelek. Justru sebaliknya, teratai yang cantik ini bisa menjadikan keseluruhan kolam menjadi tempat yang indah.

~ Lotus ~

Lotus flower is very beautiful with pink and clean petals. Try to look at the place where the lotus grows, a pond that is usually filled by mud, a place where possibly so dirty and ugly, but the lotus is still growing beautifully. Usually what happens is we often no longer see the 'ugliness' of the pond because it covered by the beauty of lotus flower.

Try to look around us; do we live in quite good environment? Or do we live in a bad environment? Of course, this good and bad is based on what we think isn’t it? Because what we call good and bad is actually very relative and limited to our perception. But we need to realize, although living in a bad environment, being good or bad person we are is still our own choices.

Be like a lotus flower, though growing in such ugly and muddy place, but it won’t make it become ugly. On the other hand, this beautiful lotus can make the entire pond become a beautiful place.


Sumber : http://www.facebook.com/photo.php?pid=4779669&id=256726097335

Minggu, 04 Juli 2010

6 pertanyaan

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. ..
Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan.. .

Pertama....
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...
Murid-muridnya ada yang menjawab...
"orang tua", "guru", "teman", dan "kerabatnya" ...
Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar....
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian".. .
Sebab kematian adalah PASTI adanya.....

Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua....
"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...
Murid-muridnya ada yang menjawab...
"negara Cina", "bulan", "matahari", dan "bintang-bintang" ...


Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah
benar....
Tapi yang paling benar adalah "masa lalu"...
Siapa pun kita... bagaimana pun kita...dan betapa kayanya kita... tetap
kita
TIDAK bisa kembali ke masa lalu.....
Sebab itu kita harus menjaga hari ini... dan hari-hari yang akan datang...

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga....
"Apa yang paling besar di dunia ini...
Murid-muridnya ada yang menjawab
"gunung", "bumi", dan "matahari".. .

Semua jawaban itu benar kata Sang Guru ...


Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu"...
Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya...
Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu...
Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini... jangan sampai
nafsu
membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat)...

Pertanyaan keempat adalah...
"Apa yang paling berat di dunia ini...
Di antara muridnya ada yang menjawab....
"baja", "besi", dan "gajah"...
"Semua jawaban hampir benar...", kata Sang Guru ..
tapi yang paling berat adalah "memegang amanah"...

Pertanyaan yang kelima adalah...
"Apa yang paling ringan di duniaini...
Ada yang menjawab "kapas", "angin", "debu", dan "daun-daunan" ....
"Semua itu benar...", kata Sang Guru...


tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "meninggalkan ibadah"...

Lalu pertanyaan keenam adalah...
"Apakah yang paling tajam di dunia ini....
Murid-muridnya menjawab dengan serentak.... "PEDANG...!! !"
"(hampir) Benar...", kata Sang Guru
tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia"...
Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati... dan melukai
perasaan saudaranya sendiri...

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan KEMATIAN...


senantiasa belajar dari MASA LALU...


dan tidak memperturutkan NAFSU...


Sudahkah kita mampu MENGEMBAN AMANAH sekecil apapun...


dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH....


serta senantiasa MENJAGA LIDAH kita...??

Sumbar : http://www.secangkirteh.com/forum/index.php?topic=2896.0

Kamis, 01 Juli 2010

Arya Tara


Ibu Penolong yang Tangkas



Belum banyak yang mengetahui siapakah Arya Tara, apakah Ia seorang Dewi, Bodhisattva ataukah seorang Buddha. Sebenarnya ada beberapa versi kisah cerita mengenai beliau, tetapi secara singkat Arya Tara adalah seorang Buddha dalam wujud sebagai wanita. Sang Buddha Sakyamuni mengulas tentang Arya Tara ini dalam dua kitab Mahayana yaitu Manjushrimulakalpa-sutra dan Tarabhava-tantra.

Sejarah Arya Tara
Untuk mengetahui asal usul Arya Tara, kita harus kembali jauh ke masa lampau, di mana Ia muncul di dunia yang disebut Aneka Cahaya, dengan Buddha pada masa itu yang bernama Buddha Dumdhubhi-svara atau Buddha Suara Genderang dan beliau terlahir sebagai putri raja yang bernama Prajna Chandra atau Puteri Bulan Kebijaksanaan. Puteri raja ini, melakukan banyak sekali kebajikan dengan memberikan persembahan dan pelayanan kepada Sang Buddha bersama Sanghanya dengan penuh keyakinan. Sehingga karna kebajikan yang sangat besar terhimpun, lalu beberapa anggota Sangha mengusulkan kepada sang puteri untuk mendedikasikan kebajikannya tersebut agar dapat terlahir menjadi seorang pria , sehingga kelak ia akan dapat menolong lebih banyak lagi makhluk hidup.

Namun Prajna Chandra atau Puteri Bulan Kebijaksanaan tersebut berkata bahwa terdapat banyak sekali makhluk dalam wujud maskulin yang bekerja untuk menolong semua makhluk hidup, tetapi sangat sedikit yang berwujud feminim. Sang puteri Prajna Chandra menyatakan bahwa untuk dapat menolong makhluk hidup sesuai dengan kebutuhan mereka maka sejak sekarang sampai berakhirnya samsara ia akan bekerja demi kebahagiaan semua makhluk dalam wujud seorang wanita.
Dari sejak saat itulah setiap kelahirannya, Arya Tara selalu terlahir menjadi seorang wanita sampai beliau mencapai Kebuddhaan. Arti dari nama Tara adalah Pembebas; sesuai dengan kenyataan bahwa Arya Tara menolong dan membebaskan semua makhluk dari karma, kilesha dan penderitaan mereka. Karena kebutuhan dan kecenderungan dari masing-masing makhluk hidup adalah berbeda-beda, maka manifestasi dari kegiatan semua Buddha

juga terdapat dalam wujud berbeda-beda; Arya Tara memanifestasi dirinya dalam dalam banyak bentuk menifestasi.

Karena Arya Tara merupakan manifestasi dari kegiatan semua Buddha maka beliau memiliki tubuh utama yang berwarna hijau di mana warna hijau melambangkan kegiatan semua Buddha. Arya Tara juga memiliki tubuh dengan warna lain tetapi semuanya merupakan manifestasi dari tubuh utamanya yang berwarna hijau. Wujud dan warna Arya Tara disesuaikan dengan kegiatan apa yang ingin dicapai oleh praktisinya; misalnya Tara Putih untuk kegiatan kedamaian atau penenangan, Tara Kuning untuk kegiatan peningkatan, Tara Merah untuk kegiatan penaklukan atau kemurkaan, dan Tara Hitam untuk kegiatan penghancuran. Karena Arya Tara sangat dikenal sebagai Ibu Penolong yang Tangkas, yang melindungi semua makhluk tanpa terkecuali memang benar lah begitu kenyataannya, terbukti dari adanya kisah-kisah pertolongan yang berasal darinya.

Penyebarannya dan para praktisinya
Arya Tara tersebar luar di seluruh India pada masa agama Buddha di India masih berjaya. Bahkan sebuah dinasti raja Buddhis di India, yaitu Raja Dharmapala membuat lencana kerajaannya dan juga bendera kerajaannya bergambar Arya Tara. Di Indonesia, bahkan candi Buddhis pertama yang dibangun di Jawa Tengah adalah Candi Kalasan yang merupakan Candi Arya Tara. Arya Tara juga menyebar hingga ke Tibet dan Mongolia. Akan tetapi tidak menyebar ke China dan Jepang.
Guru-guru besar agama Buddha Mahayana yang menurut sejarahnya menjadi praktisi Arya Tara antara lain; Acharya Nagarjuna, Acharya Dipamkara-srijnana dan juga Guru Svarnadvipa Dharmamati dari Sriwijaya serta masih banyak lagi guru-guru Mahayana lainya.


Kisah-kisah pertolongannya.
Berikut ini adalah beberapa kisah singkat pertolongannya, yang terdapat dalam tradisi lisan para praktisi Arya Tara;
(1) Perlindungan dari rasa takut terhadap musuh, dikisahkan ada seorang ksatria, jatuh tertidur di sebuah taman di Odivisa, dikepung oleh tentara musuh ribuan banyaknya, sangat kuat dan bersenjata lengkap. Ia tidak memiliki pelindung lain. Tetapi ia pernah mendengar bahwa terdapat seorang Dewi bernama Tara yang melindungi dari 16 mara bahaya, dan ia berpikir “Aku berlindung hanya kepadanya”, ia memanggil nama Arya Tara. Saat ia mulai menangis, Arya Tara menampakkan diri di angkasa di hadapannya. Dari telapak kaki Arya Tara keluar angin puyuh yang menerbangkan tentara musuh tersebut ke segala penjuru dan sampai ke negeri mereka sendiri.

(2) Perlindungan dari rasa takut pada penjahat, di daerah Gujjirata (Gujarat) terdapat seorang pedagang yang sangat kaya bernama Bharukaccha. Dalam perjalanan menuju Maru (Marwar) dengan kira-kira seribu ekor unta dan lima ratus ekor kerbau, ia sampai di suatu daerah yang terdapat ribuan bandit. Daerah itu penuh dengan ceceran daging, darah, dan tulang belulang para pedagang yang sampai di situ sebelumnya. Seratus ribu di antara mereka telah terpancang di atas tonggak, para bandit itu makan daging manusia seperti raksasa. Bharukaccha gemetar sangat ketakutan, merasa dirinya tanpa perlindungan, ia memohon pada Dewi Tara. Tiba-tiba muncul barisan tentara yang gagah berani menyandang senjata, mereka merupakan emanasi Dewi Tara. Tentara-tentara itu kemudian menghalau para bandit tersebut jauh-jauh tanpa membunuh seorang pun dari mereka. Setelah bandit-bandit itu tiada, pedagang itu dapat pergi dan pulang dengan aman.
(3) Perlindungan dari rasa takut akan kemiskinan, diceritakan terdapat seorang petani miskin memohon kepada Arya Tara, menyebut-nyebut namanya hingga akhirnya ada seorang wanita dengan mengenakan busana daun-daunan muncul menyuruhnya pergi ke arah timur. Petani tersebut pergi ke arah timur, akhirnya tertidur di atas pasir, terbangun karena suara-suara gemerincing kelintingan yang menghiasi kuda berwarna hijau yang menggaruk-garuk pasir dengan kakinya. Sesaat kemudian kuda itu menghilang tanpa diketahui arahnya. Petani itu kemudian menggali bekas garukan telapak kaki kuda tersebut. Yang pertama-tama ia temukan adalah sebuah pintu perak, selanjutnya pintu emas, pintu lapis lazuli dan seterusnya. Semua pintu-pintu yang terbuat dari benda mulia itu terbuka dengan sendirinya. Di negeri bawah bumi ia menjadi pemimpin para naga dan ashura, menikmati banyak kegembiraan. Pada suatu hari ia kembali ke negeri asalnya melalui sebuah lubang di dalam bumi. Ia kemudian menurunkan tiga orang raja.
Dan sesungguhnya masih banyak lagi kisah-kisah pertolongan oleh Arya Tara, yang mungkin dapat anda temukan di dalam sumber-sumber lainnya (merujuk pada teks Mahayana tantrayana). Penjelasan singkat ini, tentunya belum mencakup penjelasan secara keseluruhan tentang Arya Tara, namun dengan kesungguhan hati semoga penjelasan singkat ini memberi aspirasi dan pengetahuan terhadap Arya Tara dan kegiatan pertolonganya terhadap semuamakhluk didalam samsara.

Sarvamangalam, semoga semua berbahagia!

Rabu, 30 Juni 2010

YANG MULIA ANANDA THERA

Yang Mulia Ananda adalah putra dari Raja Sukodana, adik dari Raja Sudhodana. Beliau bisa dikatakan adik dari Sang Buddha (putra dari paman Sang Buddha).

Beliau ditahbiskan menjadi Bhikkhu pada hari yang bersamaan dengan penahbisan pangeran-pangeran lainnya. Mendengar khotbah daripada Yang Mulia Punna Mantani, Beliau mencapai tingkat kesucian pertama, yaitu Sotapanna. Selama 20 tahun masa vassa Sang Buddha, ada beberapa Bhikkhu yang bergantian secara teratur melayani Sang Buddha, tetapi masih saja ada beberapa pelayanan yang kurang sempurna.

Sang Buddha mengalami penderitaan fisik karena beberapa kali ditinggal sendirian. Kemudian, beliau meminta para Bhikkhu untuk menunjuk seorang Bhikkhu, yang akan bertanggung jawab secara teratur untuk melayani dan memperhatikan Sang Buddha. Semua Bhikkhu membuat kesepakatan untuk menunjuk Yang Mulia Ananda sebagai pelayan tetap Sang Buddha karena beliau seorang yang cerdas, rajin, sabar, bijaksana dan juga sepupu Sang Buddha, yang mengerti Sang Buddha dengan baik.

Beliau adalah juga seorang pelayan Sang Buddha yang setia, dan meskipun harus menyerahkan hidup untuk Sang Buddha. Sebagai contoh atas kejadian ketika Devadatta menghasut Raja Ajatasattu melepas Gajah Nalagiri untuk membunuh Sang Buddha yang sedang jalan berpindapatta di Rajagaha. Ketika Gajah Nalagiri lari menghampiri Sang Buddha, Yang Mulia Ananda, pelayan yang setia dan yang paling berbakti, yang mengabdikan hidupnya untuk penghormatan pada Sang Buddha, langsung berdiri menghadang gajah tersebut. Beliau bertekad mati untuk menggantikan Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha memancarkan kekuatan cinta kasih pada sang gajah. Melalui kekuatan cinta kasihnya, Sang Buddha membuat gajah tersebut menjadi tenang. Gajah tersebut dengan sendirinya bersujud di kaki Sang Buddha dan bangun, lalu dengan tenang berjalan pulang ke kandang.
Yang Mulia Ananda seorang yang terpelajar, dengan kecerdasan sangat menonjol, beliau dapat memberikan khotbah tingkat tinggi. Sang Buddha memuji beliau sebagai Bhikkhu yang paling utama, sempurna dalam lima kemampuan: semangat, kesadaran, pandai/cerdik, pikiran yang berkembang maju terus ke depan, dan pelayan Sang Buddha.

Setelah Sang Buddha memasuki parinibbana, dewan tertinggi menunjuk Yang Mulia Ananda sebagai penjawab mengenai pertanyaan-pertanyaan tentang Sutta dan Abhidhamma.

Karena Yang Mulia Ananda belum mencapai tingkat kesucian Arahat, maka dengan usaha keras beliau berlatih meditasi, tetapi beliau tidak berhasil. Karena sangat letih, beliau memutuskan untuk beristirahat sebentar dengan berbaring di atas tempat tidurnya. Baru saja kakinya diangkat ke atas tempat tidur, kepala menyentuh bantal, beliau mencapai tingkat kesucian Arahat dalam empat posisi: berdiri, berjalan, duduk, berbaring. Beliau mencapai Arahat dengan cara yang luar biasa dibandingkan dengan Arahat-Arahat yang lain.

Yang Mulia Ananda hidup hingga usia 120 tahun. Setelah memutuskan untuk parinibbana, beliau mengundang sanak keluarga Sakya dan Kolita untuk berkumpul di tepi Sungai Rohini, yang membatasi sepanjang Kota Kabindapada dan Devadaha. Sebelum memasuki parinibbana, beliau terbang di angkasa, membabarkan Dhamma kepada para Deva, di antara para sanak keluarga dan para manusia. Pada akhir khotbah, beliau wafat di angkasa tepat di atas Sungai Rohini. Unsur api membakar tubuh beliau dan menyisakan tulang. Tulang pecah menjadi dua bagian di atas dua sisi Sungai Rohini seperti yang beliau cita-citakan sebelumnya. Beliau pengikut Sang Buddha yang mencapai tingkat kesucian Arahat dengan cara yang luar biasa dan mencapai parinibbana lebih cepat daripada pengikut lainnya.


Dikutip dari E-Mail dari Y.M. Bhante Padipadharo

Selasa, 29 Juni 2010

Seorang Pria Diberi Nama Buruk

Pada suatu masa ada seorang guru dunia yang termasyur di Takkasila, India bagian Utara. Ia mempunyai 500 murid tingkat lanjutan yang mempelajari ajaran mulia darinya. Ada seorang muridnya yang diberi nama “Buruk” oleh orang tuanya. Suatu hari ia berpikir, “Bila orang berkata pada saya,kemarilah Buruk, kerjakan ini Buruk, pergilah Buruk rasanya tidak enak di dengar. Bahkan kedengaranya memalukan dan kurang beruntung.”

Jadi ia menghadap gurunya dan memintanya untuk memberinya nama yang lebih baik, nama yang membawa keberuntungan bukan kemalangan. Gurunya berkata,” Pergilah anakku kemana saja kamu suka dan carilah nama yang membawa keberuntungan. Bila kamu kembali, secara resmi saya akan memberimu sebuah nama baru”.
Sang buruk meninggalkan kota dan pergi dari desa ke desa hingga sampai di kota besar, dalam prjalananya ia melihat seorang meninggal dunia dan ia bertanya,” Siapakah nama orang ini?” lalu seorang penduduk yang ditanya menjawab “ Ia bernama Hidup”. Lalu Buruk berkata” Namanya Hidup tapi kenapa bisa meninggal dunia?”. Penduduk menjawab meskipun namanya Hidup atau Mati ia akan tetap mati. Nama hanyalah sebuah kata belaka untuk membedakan seseorang dengan yang lainya, “ Hanya suatu kebodohan bila kita mempermasalahkan itu” setelah mendengarnya, Buruk tidak lagi gusar akan namanya, tetapi ia belum merasa puas.

Ketika melanjutkan perjalanan ke Kota, ia melihat seorang anak perempuan yang berutang pada majikanya sedang dipukulin di jalan. Buruk bertanya kepada seseorang mengapa gadis ini dipukul. Orang itu menjelaskan,” Karena ia seorang budak yang berhutang kepada majikanya. Ia baru saja pulang kerja tanpa mendapat upah, karena ia harus membayar utang atas bunganya. “ Siapakah nama budak itu?” Tanya Sang Buruk. “Namanya Kaya” jawab mereka. Lalu Buruk berkata, “ Ia bernama Kaya tapi kenapa ia tidak punya uang, bahkan tidak dapat membayar bunga atas hutangnya?”. Mereka berkata “ meskipun namanya Kaya atau Miskin ia tetep tidak punya mempunyai uang, nama hanyalah sebuah kata belaka dipaki untuk membedakan orang. Hanya suatu kebodohan bila kita mempermasalhkan ini.” Mendengar hal ini Buruk tidak begitu tertarik lagi untuk mengubah namanya.

Setelah ia meninggalkan Kota didalam perjalanan ia berjumpa dengan seseorang yang tersesat. Ia bertanya, “Siapakah namamu?” orang itu menjawab” Nama saya Pemandu Wisata”. “ mengapa nama Anda pemandu wisata tapi anda masih bisa tersesat?” Tanya Buruk. Kemudian laki laki itu berkata,” meskipun nama saya Pemandu Wisata tapi saya masih bisa tersesat. Nama hanyalah sebuah kata belaka yang dipakai untuk membedakan seseorang. Hanya suatu kebodohan bila kita mempermasalahkanya.”

Sekarang ia merasa puas dengan namanya sendiri, Buruk kembali ke Gurunya. Guru termasyur dari Takkasila bertanya padanya “ Apa kabar anakku? Sudahkah kamu menemukan nama yang bagus?” ia pun menjawab “Guru, nama nama Hidup, Mati, Kaya, Miskin, tidak ada artinya. Pemandu wisata pun bisa tersesat. Sekarang saya tahu nama hanyalah sebuah kata belaka yang digunakan untuk membedakansatu dengan yang lainya, nama tidak memperlihatkan sifat seseorang, tetapi sikad dan tindakanlah yang bernilai. Jadi saya puas dengan nama saya, tidak ada alasan untuk mengubahnya.”
Sang Guru telah menyimpulkan bahwa muridnya ini telah mengambil pelajaran dari perjalanannya. Dengan menyaksikan sendiri bahwa bernama Hidup tapidapat mati, bernama Kaya tapi dapat miskin, bernama Pemandu Wisata tetapi dapat tersesat, maka Buruk telah dapat menerima dirinya”.

Hikmahnya:
Sekuntum Bunga Mawar diberi nama apapun, Bunga itu akan tetap memberikan keharumanya.

Sumber: Buku kumpulan cerita Buddhis untuk Tua dan Muda

Senin, 28 Juni 2010

KISAH SIVALI THERA

DHAMMAPADA XXVI, 32

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari Ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan Anak-Nya. Ia terus merenungkan Sifat-Sifat Khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh Suami-Nya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan Penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingan- Nya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaan-Nya dengan berkata: "Sebelum Saya meninggal, Saya akan memohon sesuatu. Suami-Ku pergi dan ceritakanlah keadaan-Ku kepada Sang Guru dan undanglah dan apa yang di Katakan-Nya ingat baik-baik dan katakanlah kepada-Ku apa yang dipesankan Sang Guru".

Ketika diberitahu mengenai keadaan Putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan, semoga Ia melahirkan Anak yang sehat dan mulia dengan selamat". Ketika Kata-Kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan Anak di rumah-Nya. Pada hari itu juga, segera setelah Kelahiran Anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa Bhikku diundang untuk datang ke rumah-Nya. Dana makanan diberikan disana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air yang sudah disaring kepada Sang Buddha dan Para Bhikku. Pada upacara Pemberian Nama, Putra tersebut diberi Nama Sivali, yang berarti 'Yang Menguntungkan' . Untuk merayakan Kelahiran Bayi tersebut, Orang tua-Nya mengundang Sang Buddha dan Para Bhikku ke rumah Mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari. Setelah 7 hari sejak Kelahiran-Nya, Ia dapat melakukan apa saja. Yang Arya Sariputra, Sang Dharmasenapati (Jenderal Dharma), berbicara kepada-Nya pada hari itu dengan berkata, "Tidakkah itu menunjukkan Sikap Seseorang yang telah mengatasi penderitaan seperti telah Engkau lakukan untuk meninggalkan duniawi?". "Bhante, Saya akan meninggalkan duniawi". Gumam Sivali. Putri Suppavasa melihat Mereka berbicara dan menanyakan kepada Sariputra Thera, apa yang telah Mereka bicarakan. "Kami berbicara tentang penderitaan panjang yang telah diatasi oleh Sivali. Dengan izin-Mu, Saya akan menahbiskan- Nya", jawab Sariputra Thera. Putri Suppavasa berkata, "Itu baik, Yang Arya, tahbiskanlah Anak-Ku Sivali". Dan pada saat ditahbiskan, Yang Arya Sariputra Thera berkata, "Sivali, Engkau tidak menginginkan Nasehat lainnya selain sebab dari dukkha yang panjang yang telah Engkau atasi ? Pikirkanlah itu." "Bhante, Kata-Kata Bhante merupakan beban bagi penahbisan-Ku tetapi Saya akan menemukan apa yang pandai Saya lakukan", kata Sivali.

Ketika Anak-Nya tumbuh dewasa, Ia diterima dalam Pasamuan dan sebagai Bhikku, Ia dikenal dengan Nama Arya Sivali Thera. Pada saat pertama Rambut-Nya dipotong, Dia mendapat hasil pada Jalan Pertama (Sotapatti-phala) , saat yang kedua dipotong, Ia mencapai Jalan Kedua (Sakadagami- phala). Ia mencapai tingkat Kesucian Arahat segera setelah Kepala-Nya dicukur. Kemudian, Ia menjadi terkenal sebagai Seorang Bhikku yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar, kendatipun Ia melakukan Pindapatta di desa yang sangat miskin sekalipun. Sebagai Bhikku penerima dana, Ia tidak terbandingkan sehingga Ia terkenal sebagai Bhikku Murah Rezeki. Setelah Sariputra Thera menahbiskan- Nya, Bhikku Sivali pergi pada hari yang sama dan membuat tempat kediaman-Nya di gubuk serta bermeditasi pada keterlambatan Kelahiran-Nya yang sengsara. Dengan cara ini, Pengetahuan- Nya mencapai kedewasaan. Beliau masuk kedalam Pandangan Benar menghilangkan semua racun dalam pikiran, Beliau telah mencapai Arahat. Setelah mengalami kebahagiaan kebebasan, Beliau dalam Kebahagiaan mengucapkan Syair berikut:"Sekarang telah berhasil baik, semua Tujuan Tertinggi-Ku dalam mengasingkan Diri. Adat pengetahuan yang suci dan pembebasan, permintaan-Ku, semua kesombongan tersembunyi telah Kusingkirkan" . Pada suatu sempatan, Para Bhikku bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi Seorang Arahat, dilahirkan di dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun. Kepada Mereka Sang Buddha menjawab, "Para Bhikku ! Dalam salah satu Kelahiran-Nya yang terdahulu, Sivali adalah Anak dari Raja yang kehilangan Kerajaan-Nya karena direbut oleh Raja lain. Dalam usaha-Nya untuk memperoleh kembali Kerajaan Mereka, Ia (Sivali) telah mengepung Kota Kerajaan atas nasehat Ibu-Nya. Sebagai akibat-Nya, orang-orang didalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim Ibu-Nya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir semua dukkha, Ia telah merealisasikan Nirvana". Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 414 berikut:

"Yo' mam palipatham duggam samsaram mohamaccaga tinno parangato jhayi anejo akathamkathi anupadaya Nibbuto tamaham brumi Brahmanam."

‘’Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya, yang telah menyeberang dan mencapai 'pantai seberang' (Nirwana), yang selalu bersamadhi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan, yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai Nirwana, maka Ia Kusebut Seorang 'Brahmana'”.

Paritta untuk memberi penghormatan kepada Arahat Sivali

Namo Arahato Sivali Vandana Gatha

Sivali ca mahathero devata nara pujito soraho paccaya dimhi

Sivali ca mahathero yakkha devabhi pujito soraho paccaya dimhi ahang vandami sabbada

Sivali terasa etang gunang savasti labhang bhavantu me.

Namo Buddhaya,

Dari cerita di atas, tampaklah bahwa Arahatta Sivali adalah merupakan murid Sang Buddha yang tidak terbandingkan dalam menerima dana. Beliau tidak pernah kekurangan makanan di manapun beliau berada. Dalam Dhamma, segala suka dan duka yang dialami oleh seseorang adalah karena buah dari perbuatannya sendiri. Dengan banyak melakukan kebajikan, barulah seseorang akan mendapatkan kebahagiaan. Apabila penghormatan kepada Arahatta Sivali direnungkan sebagai sarana untuk menambah kebajikan melalui badan, ucapan dan pikiran, maka tentu saja perhormatan ini dapat mengkondisikan kebahagiaan hidup dalam bentuk banyak rejeki seperti yang diharapkannya. Dengan demikian, rupang Sivali hendaknya dijadikan pendorong seseorang agar terus melakukan kebajikan dengan berbagai cara agar ia mendapatkan kebahagiaan maupun rejeki.

Semoga Semua Mahkluk Berbahagia

Salam Metta

Dikutip dari e-mail dari : Y.M. Bhante Padipadharo.

Jangan menyesali pikiran yang sudah lewat

SEBAGAI seorang penganut agama Buddha, sebenarnya yang kita cari adalah mengkondisikan keadaan pikiran dan tidak menyesali perbuatan ucapan yang dilakukan oleh pikiran pada waktu yang sudah terlewati. Hanya dengan cara ini kita dapat memiliki pikiran yang mantap untuk meneruskan pengembangan ajaran agama Buddha. Jika kita selalu menyesali kesalahan-kesalahan kita dimasa lalu, memikirkan hal-hal buruk yang telah kita lakukan atau ucapkan, maka kita tidak akan dapat konsentrasi pada masa sekarang. Jika kita mencoba untuk mengerti pikiran orang lain tanpa terlebih dahulu mengerti pikiran diri sendiri, kita akan lebih mudah menyimpang dari ajaran Sang Buddha dan akan menampak menuju jalan kejahatan.

Sikap yang benar dalam mempelajari Buddha Dharma adalah dengan melihat pada kenyataan hidup sekarang ini. Kita harus tahu dan menilai seberapa besar potensi yang ada dalam diri kita, serta bagaimana kita dapat menggunakannya untuk menolong mahluk lain.

Ada suatu cerita sebagai berikut. Terdapat sebuah Vihara tua, pada halaman depannya terdapat sebuah kolam dan banyak terdapat katak yang hidup bermain di air. Katak-katak tersebut kadangkala melompat menyelam ke dalam kolam dan tinggal di dalamnya. Terkadang juga melompat keluar kolam untuk melihat-lihat dunia. Banyak penganut agama Buddha datang ke Vihara tersebut untuk membakar dupa, membaca sutra, dll. Kadangkala mereka berjalan disekitar altar dan melafalkan nama Buddha dengan menggunakan tasbih. Saat itu katak-katak tersebut berada diluar kolam dan melihat para penganut Buddha berjalan dengan anggun, mereka berharap dapat melakukan hal yang sama.

Salah satu dari katak tersebut melompat ke dalam altar pada saat orang-orang bernamaskara di depan Buddha rupang. Katak diatas altar turut berdoa dengan sungguh sungguh dan tulus, agar Sang Buddha dapat juga mengabulkan permintaan katak untuk dapat berdiri dengan dua kaki dan berjalan seperti manusia. Seorang dewa penghuni Vihara tergerak hati, karena ketulusan katak tersebut, kemudian mengabulkan permintaannya. Si Katak akhirnya senang bercampur bangga, karena doa nya terkabul, dapat berjalan dengan dua kaki, sedangkan katak lainnya masih melompat dengan menggunakan empat kaki.

Pada suatu hari, tiba-tiba muncul seekor ular. Hampir semua katak masuk kedalam kolam untuk bersembunyi dari kejaran ular. Katak yang dapat berjalan seperti manusia, juga merasa cemas dan takut, karena hanya dapat berjalan dengan dua kaki layaknya manusia, tidak tangkas dalam melompat seperti teman-temannya. Sehingga kemampuannya berkurang, lalu si ular dengan cepat memangsa katak yang hanya berjalan dengan dua kaki. Pada saat di mulut ular, katak meronta-ronta kesakitan sambil berpikir dan merenung dengan penyesalan yang mendalam,” mengapa saya mengorbankan kemampuan saya untuk melompat, hanya karena ingin dapat berjalan seperti manusia. Kini hidup saya berakhir ditelan dalam mulut seekor ular. Namun sekarang saya sudah terlambat untuk kata menyesal”.

Walaupun hanya cerita anak-anak (jataka), hal lain yang terkandung dalam penyampaian tulisan ini memberi makna peringatan yang baik buat kita. Jika kita kembali mempelajari Buddha Dharma, sebelumnya kita harus menemukan kembali sifat dasar dan kemampuan kita. Dan janganlah selalu mencari sesuatu yang berada diluar jangkauan kita, yang pada akhirnya menemui kegagalan. Beberapa orang telah mengatakan bahwa mereka ingin mempelajari jalan menuju pencerahan, tetapi sebaliknya, mereka kehilangan jati dirinya dan mengejar kekuatan supranatural berlanjut memasuki kerajaan setan. Bukan hanya pikiran mereka yang menjadi kacau, tetapi dari mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Hal ini tentulah sangat menyedihkan.

Maksud yang sesungguhnya dalam mempelajari Buddha Dharma adalah mengaplikasikan ajaran Buddha dalam realita kehidupan sehari-hari. Dengan mempergunakan metode ajaran Buddha sebagai embun pagi yang dapat membersihkan kebodohan dan noda batin pada pikiran kita. Tujuan utama dalam mempelajari agama Buddha adalah mengimple- mentasikan kehidupan yang selama ini di sia-siakan dan menyadari keterbatasan kita dalam cinta kasih. Sesuatu hal yang amat keliru apabila berpikir dalam belajar agama Buddha untuk mencari kekuatan supranatural.

Akhir kata, semoga kita semua dapat memahami diri dan dapat melaksanakan dengan baik. Jika gagal melakukan, biarpun terus menerus melatih pengembangan spritual, kita akan sulit untuk memperoleh kebenaran. Sebenarnya, yang terdekat ada dalam diri kita, tetapi seringkali kita lupakan dan malah mencari apa yang ada diluar diri kita. Mata kita dapat melihat orang lain dengan jelas tetapi tidak dapat bercermin melihat wajah kita sendiri. Mengapa yang terdekat dengan kita seringkali dilupakan atau tidak terlihat.

Dalam mempelajari agama Buddha, kita sudah seharusnya memulai dari yang terdekat, yakni memilih jalan yang paling mudah, kemudian berupaya memberdayakan potensi kita yang ada untuk menolong yang memerlukan. Ingatlah bahwa kita tidak boleh melupakan yang terdekat dengan kita dan mencari sesuatu diluar jangkauan kita.

Tulisan Master Chenyen, di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Ibu Hartati Murdaya

Barang Hilang

Dikisahkan seseorang kehilangan suatu benda di dalam ruangan. Dia pun bergegas mencari benda yang hilang tersebut. Dia pun terus berupaya mencarinya, asik mencarinya di setiap sudut ruangan, namun belum menemukannya. Dia terus mencarinya hingga akhirnya dia kelihatan sibuk mencari hingga di luar ruangan. Temannya yang sedari tadi memperhatikannya menjadi heran, kemudian bertanya, Kenapa Anda mencari benda yang hilang tersebut sampai di luar ruangan? Bukankah Andan kehilangan benda tersebut di dalam ruangan?. Dengan cukup mantap dia menjawab, “Saya mencarinya di luar ruangan karena di dalam gelap!"

Bila kita perhatikan cerita tadi mungkin kita akan tersenyum mendengar kekonyolan tingkah orang yang diceritakan kehilangan bendanya, namun kalau kita mau merenungi cerita tadi lebih dalam dan merefleksikan pada diri kita maka akan terbesit sebuah renungan yang mencerahkan hati kita. Menyadarkan diri ini.

Sadarkah kita selama ini kita seperti orang yang konyol tadi? Sadarkah selama ini kita selalu disibukkan dengan selalu mencari? Mencari kebahagiaan, kita selalu disibukkan mencari harta kekayaan, mencari jabatan, mencari kemasyuran, mencari perhatian, mencari nama baik, mencari kesenangan hidup. singkatnya orang-orang sepakat menyebutnya dalam satu kalimat‚ “Mencari Kebahagiaan."

Namun apa yang kita dapatkan? Pencarian yang selama kita lakukan tidak ubahnya mirip kekonyolan orang yang diceritakan di atas. Kita terus mencari segala sesuatu yang membuat kita bahagia, namun hanya sesaat! Makanya kita hanya mengenal dan mengenang saat-saat bahagia (karena penderitaan selalu membayangi hidup kita).

Pencarian itu terus kita lakukan hingga jauh keluar dari diri kita sendiri. Pada pandangan (pengertian yang salah) yang membodohi dan menghibur diri kita. Pada penglihatan yang diharapkan memberikan kesejukan mata kita. Pada pendengaran yang membuai telinga kita. Pada aroma yang memanjakan hidung kita. Pada kecapan yang membangkitkan kerakusan kita. Pada sentuhan yang menggairahkan hasrat kita. Pada segala hal yang menggelapkan hati kita.

Kita tak puas-puasnya memanjakan diri kita. Siang hingga malam hari, selagi tidak terlelap dalam mimpi. (Bermimpi karena tidak bisa tidur dengan nyenyak). Ketika mentari muncul, semangat terpompa untuk kembali untuk mengulangnya. Ketika gelap tampak, kita belum juga terpuaskan. Kita kembali mencari kenikmatan.

Bahkan mencari jauh “terangnya cahaya itu". Dalam terang benderang kelipan cahaya yang kita ciptakan. Gemerlap lampu, hiruk pikuk suara musik, dalam dunia gemerlapan Kita mengabaikan makhluk lain (binatang lebih tahu waktu tidurnya) yang terpulas karena keterbatasan daya bertahan jasmaninya yang membutuhkan istirahat. Kita berusaha menciptakan yang menjadi keinginan kita untuk mencari “terangnya cahaya itu".

Mencari dan mencari kebahagiaan berlebihan? Tidak berujung? Hingga jauh keluar dari diri kita? Kenapa demikian? Mari kita renungkan.. Kita demikian karena hati kita penuh kegelapan. Hati dan pikiran kita sangat gelap. Digelapkan oleh kebodohan (ketidaktahuan tentang diri ini) Digelapkan oleh Kebencian ( menolak akan ketidaknyamanan yang kini harus kita alami) Digelapkan oleh keserakahan ( ingin selalu mengejar jauh dari yang kini harus kita alami) Kita hidup jauh dari kekinian. Tertutupi oleh pekat dan gelapnya hati ini. Akhirnya kita tidak menemukan yang kita cari. Dan tak akan pernah menemukan apalagi bila kita mencarinya di luar. Sadarkah akan diri ini sepenuhnya? Kebahagiaan ada dalam hati dan pikiran ini Insight.. Terangkan hati dan pikiran ini. Kebahagian pasti muncul dalam hati dan pikiran ini.


Sumber : www.bemindful.co.cc

Tidak Perlu Menilai Orang Lain

Alangkah lama saya menyadari, setelah sekian tahun menjadi seorang Buddhis, akan kenyataan dari ajaran ketiadaan (tanpa-diri). Saya tidak mengatakan bahwa saya telah memahami seluruhnya sampai saat ini, tapi saya mulai mengerti kesimpulan pengalaman dari ajaran tersebut.
Sebelumnya merupakan suatu kebiasaan bagi saya secara mental melabel orang-orang saat mereka berlalu lalang dalam hidup saya—“A pastilah tipe kepribadian 1… hmmm, sama sekali tidak begitu baik! B pastilah tipe 2… okay, lumayan.” Semua ini terjadi secara alami dalam pikiran yang tidak terlatih, berkeliaran dan terlalu cepat menilai.
Namun belakangan, beberapa teman dekat saya mengalami perubahan “drastis”. Orang yang saya kira telah saya kenal seumur hidupku bagaikan punggung tanganku tiba-tiba terlihat sangat tidak masuk akal. Seorang teman secara tak dinyana mendadak menjadi vegetarian hanya karena dia menyaksikan seekor ikan tergelepar hingga mati di sebuah restoran seafood. Pria ini pemakan daging “setia” sejak awal! Alasan positif menjadi seorang vegetarian dulunya tidak relevan untuknya! Dan teman yang lain cerai, dengan orang yang ia dan saya dari awal kira kelak akan menjadi pasangan hidupnya yang sempurna….
Tampaknya mengagetkan bahwa orang dapat berubah “hanya seperti itu”. Semacam menyentak indera saya—saya tidak benar-benar mengenali siapapun sama sekali. Saya tidak akan pernah benar-benar bisa! (Tetapi ada ketidak-berubahan sifat-Buddha di bawah semua ini.) Bahkan saya sendiri orang yang berubah-ubah yang seakan berkepribadian “tetap”.
Di pemikiran kedua, saya tersadar bahwa penginsyafan ini bisa amat sangat membebaskan. Saya tidak perlu melabel dan begitu menilai orang-orang lagi, karena hal tersebut sukar untuk selalu akurat. Tiba-tiba saya menjadi lebih terbuka dan siap memaafkan. Tidak ada kepribadian yang tetap di antara kita semua. Kita sepanjang waktu berubah. Sering sekali karena tidak mengerti kebenaran agung ini, kita terlibat konflik dengan orang lain. Well, manusia berubah. Janji dibuat, bahkan melalui pernikahan paling khidmat tidak dapat selalu bertahan hingga kematian memisahkan pasangan itu. Insyaf akan hal ini menciptakan hubungan yang murah hati dan hidup. Tidak ada seorangpun yang "seharusnya" seperti apa yang menurut penilaianmu terhadap karakter dia kemarin. Kita semua terlahir kembali dengan tiap pemikiran yang berubah. Tidak ada satu diri sama sekali yang tetap dalam keseluruhannya.
Menyadari akan hukum ketidakkekalan yang berlaku terhadap segala sesuatu tentu saja membebaskan. Serta merta, saya “dianugerahkan” seluruh dunia yang luas dan kesempatan tidak terbatas bagi diri saya sendiri untuk berevolusi dan berubah di luar batas pikiran penilai konseptual saya yang kecil. Tidak perlu kecewa oleh siapapun atau melekat pada siapapun. Bagaimanapun juga anda tidak benar-benar bisa mendefinisikan siapapun atau apapun dengan sempurna. Betapa kebebasan agung!

Source:
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2330.0
The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), No Need to Judge, p.184-185